oleh : Nafik Umurul Hadi
Saya ingin mengutip dari Enrico Giovaninni chief Statician OECD (Organization For Economic Co-Operation And Development) “some times the fault does not lie with the indicators but in their inappropriate us…because the massage provided by them may be misinterpreted by the audience to which they are addressed “ (Geovaninni 2018). Mungkin tak ada yang salah dengan ukuran kemiskinan yang digunakan di Indonesia saat ini, yang justru sangat menggelisahkan adalah Interpretasi yang berkembang yang terkadang menepi dari makna data itu sendiri.
Interpretasi subyektif personal yang “menepi” tersebut bukan oleh pengamat, anggota legislative, atau para akademisi dan mahasiswa, melainkan yang utama justru dari internal policy maker itu sendiri. Karena interpretasi yang melenceng maka apa yang dimaksud dengan kemiskinan akan jauh lebih melenceng lagi dari pengertian yang sebenarnya. Maka akibatnya sebagian program yang ditawarkan untuk menanganinya juga melenceng dari sasaran tembak. Ini adalah jawaban mengapa berbagai upaya penurunan angka kemiskinan di negara Indonesia ini mulai jaman Pak Harto, presiden-presiden sesudahnya dan sampai sekarang sering kurang sesuai antara niat dan hasilnya. Pemerintah mungkin sangat serius untuk mengurangi penduduk miskin, tetapi bisa jadi orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan justru terkadang kurang memahami apa yang digambarkan oleh angka kemiskinan tersebut.
Ukuran WHO dan FAO yang juga diadopsi oleh Indonesia dan negara berkembang lainya memang lemah dan belum mampu mencukupi kebutuhan minimal, ini artinya : sejalan dengan dalil sosio-psikologisnya Mahatmagandhi, mereka yang miskin adalah mereka yang berada pada situasi “The Last, the lowest, the least and the lost”.
Dia miskin karena selalu mendapatkan kesempatan paling akhir (the last), baik karena faktor dilusr dirinya atau karena faktor mentalitas yang berasal dari dalam dirinya sendiri, dalam bawah alam sadar mereka (the lowest )merasa terendah (subconsious mind). dia pilihanya tunggal yg biasa dilakukan secara turun-temurun oleh leluhurnya.
Mereka selalu mendapatkan kesempatan yang paling sedikit/terkecil (the least), dan pada akhirnya tidak memiliki arah kehidupan yang jelas (the lost), gambaran Gandhi ini tak berbeda dengan gambaran kondisi orang miskin di Indonesia yang sebagian besar ada di perdesaan, menjadi buruh tani, buruh serabutan, pedagang asongan, tenaga kerja serabutan di perkotaan dan pekerja informal lainya.
dalam konteks ini paket program pengentasan kemiskinan terkesan kurang memadai untuk memberdyakan orang miskin yang sebenarnya. Tengok saja misalnya program pembiayaan peningkatan jalan desa, rehabilitasi irigasi,bantuan peralatan ekonomi produktif, pompa, bendungan desa, hampir semua paket tersebut tida akan langsung dapat mensejahterakan orang miskin yang hidup dengan ciri-ciri yang saya sebutkan.
Beberapa kementrian juga melakukan paket bantuan sosial agar orang miskin bisa lebih mandiri, ini sekali lagi sebetulnya tidak akan menyentuh orang miskin yang sebenarnya, melainkan hanya akan meningkatkan taraf hidup bagi mereka yang sebenarnya sudah berada di luar garis kemiskinan. jika kita lihat data pada kelompok ini mereka yang semula belum memiliki kendaraan, kini jutaan motor dan mobil baru memenuhi jalan-jalan di desa dan kota, ini akibat dari peningkatan akses ekonomi yang seharusnya diperoleh masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. dan akhirnya mereka yang benar-benar miskin terus menerut tercecer dibelakang, mereka berada pada posisi ” The last, the lowest, the least dan the lost”
wallohu ‘a’lam Bhisshawab.
Ulasan senin 13 september 2021,
By:nafiumurulhadi.blogspot.com/