Oleh :Nafik Umurul Hadi
76 tahun merdeka, desa-desa autopilot, yang hidup “Bak tanpa pimpinan”..Sejak zaman Presiden Soekarno, desa selalu dijadikan mantra pembangunan yang ajaib. Hampir tak pernah ada Presiden yang menyerukan, “Mari membangun kota-kota”, tapi selalu, “Ayo mbangun deso”.
Setelah 76 tahun desa dijadikan basis perencanaan pembangunan, wajar jika kita menyangka desa-desa sebagai satu kesatuan wilayah yang tertib. Batas-batasnya jelas; penduduknya ada, dan jumlahnya cukup, serta pemimpinnya dipilih secara demokratis, entah berdasarkan voting atau azas musyawarah.Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dari setiap 10 desa/kelurahan di Indonesia, satu di antaranya berjalan bak autopilot, ada dan tiadanya tidak memberi manfaat bagi pembangunan desa (data hasil survei Potensi Desa).
Di Jawa, misalnya, 13 persen dari 25300 desa/kelurahan ternyata juga autopilot. Ini data yang mengejutkan. Soalnya, dalam urusan administrasi pemerintahan, selama ini Jawa dianggap selalu tampak paling depan. Benarkah… Di antara semua wilayah di Jawa, yang paling parah adalah wilayah kita?…Benarkah di kabupaten penghasil batu marmer itu, dari setiap empat desa/kelurahan hanya satu yang punya pemimpin resmi atau setidaknya legitimate.
Kenyataan ini menambah ruwet pengelolaan desa, bukan hanya dalam administrasi, tapi terutama soal pertanggungjawaban keuangan. Sebelum ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengeluhkan banyaknya desa tanpa penduduk alias desa-hantu. Desa-desa kosong ini tiap tahun selalu ajeg menerima Dana Desa yang nilainya sampai Rp960 juta.
“Saya lihat feedback di medsos, komentarnya hampir sama, ‘Bu, tolong jagain Dana Desa. Disetop saja deh, soalnya Pak Kades atau para perangkatnya kayaknya beli mobil baru’,” kata Menteri Sri Mulyani dalam peluncuran Laporan Bank Dunia di Jakarta, akhir Januari lalu. Meskipun memang betul, ada juga kepala desa yang berhasil menyulap desanya hingga mengkilap, dengan modal Dana Desa. “Tapi cerita sukses seperti itu cuma ada satu dari 75.000 desa. Mbok ya 1.000 atau 2.000 desa,” kata Bu Menteri.
Menurut Sri Mulyani, eksekusi Dana Desa kerap bermasalah lantaran persoalan pada kemampuan sdm pada tingkat kades sampai perangkat desa. Sebenarnya, desa-desa autopilot ini tak sepenuhnya tanpa pimpinan. Sebagian di antaranya, jabatan itu diambilalih Sekretaris Desa, sebagian lagi dijabat seorang pelaksana tugas alias PLT.
Tapi justru di situlah persoalannya. Menurut beberapa ahli bidang administrasi publik , para pelaksana tugas ini umumnya ditunjuk oleh Bupati. Tokoh droppingan. Biasanya seorang pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten atau kecamatan. Ini berbeda dengan kepala desa yang dipilih langsung oleh warga desa sehingga punya legitimasi. “Oleh karena Kades droppingan ini langsung di bawah kontrol bupati, dia bisa menjadi instrumen politik untuk kepentingan elektoral Pak Bupati atau dinastinya,” bisa jadi… Karena jabatan PLT Kades juga mendatangkan insentif ekonomi yang besar. “Ini jadi rebutan para PNS di kabupaten dan kecamatan,”.
Ada data absennya keberadaan pimpinan di desa-desa sebagian disebabkan karena pergantian kepala desa yang bermasalah, seperti banyak terjadi di luar jawa. Sebagian lagi lantaran kepala desanya dicopot akibat berbagai sebab, di antaranya penyelewengan Dana Desa.
Agaknya, strategi Membangun dari Pinggiran yang dijagokan Presiden Joko Widodo perlu mendapat revisi serius. Jika tidak, Kredo mbangun deso bisa jadi jargon kosong belaka. Seperti yang sudah-sudah.
Semoga ulasan singkat ini jadi inspirasi stakeholders Desa… Aamiin yra.
Catatan Pasca HUT 76 RI.
By: https//:nafiumurulhadi.blogspot.com